A.
PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak terlepas dalam wacana pendidikan di Indonesia
adalah Pondok Pesantren. Ia adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua
di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan
saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya.
Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok
Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi
menulis tentang lembaga pendidikan Hslam tertua ini.
Di antara sisi yang menarik para pakar dalam mengkaji lembaga ini
adalah karena “modelnya”. Sifat keislaman dan keindonesiaan yang terintegrasi
dalam pesantren menjadi daya tariknya. Belum lagi kesederhanaan, sistem dan
manhaj yang terkesan apa adanya, hubungan kyai dan santri serta keadaan fisik
yang serba sederhana. Walau di tengah suasana yang demikian, yang menjadi
magnet terbesar adalah peran dan kiprahnya bagi masyarakat, negara dan umat
manusia yang tidak bisa dianggap sepele atau dilihat sebelah mata. Sejarah
membuktikan besarnya konstribusi yang pernah dipersembahkan lembaga yang satu
ini, baik di masa pra kolonial, kolonial dan pasca kolonial, bahkan di masa
kini pun peran itu masih tetap dirasakan.
Di tengah gagalnya sebagian sistem pendidikan dewasa ini, ada baiknya
kita menyimak kembali sistem pendidikan pesantren. Keintegrasian antara ilmu
etika dan pengetahuan yang pernah dicanangkan pesantren perlu mendapat perhatian,
sehingga -paling tidak- mengurangi apa yang menjadi trendi di tengah-tengah
pelajar dan pemuda kita: TAWURAN.
B.
PEMBAHASAN
1. PONDOK PESANTREN DAHULU
Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak
zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel
Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal
dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri
ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.
Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di
Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban
mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok
pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.
Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik
bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu
dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang
menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para
santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan
guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa
kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk
keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari
para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya
dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti
lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.
Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu,
tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan
kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada,
materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka
memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca
kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang
sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi).
Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren
dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.
Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri
atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi
padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di
tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang
tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.
Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih
menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri
berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada
pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah
dan Timur.
Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami
reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun
keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk
terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.
2. PESANTREN KINI
Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada
dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara
komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem,
metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren
sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri
pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya
dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor-
pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh
kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.
Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian
materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi,
tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya
yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan
sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan
anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai
celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang
siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.
Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang
saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan
dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa
santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan
masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan
agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu
mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.
Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan
Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak
bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak
mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris,
tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa
pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh
karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan
sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.
Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya
melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para
alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta.
Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka
yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala
sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah
sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.
Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya
tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa
pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.
Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala
bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni
mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.
3. PEMBAHARUAN DI BIDANG FURU’
Yang dimaksud perubahan di bidang furu’ di sini adalah beberapa
perubahan pada beberapa bidang yang dilakukan sejumlah pondok pesantren yang
berkiblat atau mengikuti Gontor. Seperti perubahan kurukulum dan aktifitas
pesantren. Hal ini terjadi karena dipandang masih adanya beberapa kelemahan
yang ditemukan pada Gontor. Atau karena adanya kebutuhan masyarakat di mana
pesantren itu berada. Untuk mengisi kekurangan di bidang penguasaan kitab
kuning umpamanya, beberapa pesantren memasukkan kitab kuning sebagai sylabus,
meskipun jam pelajarannya berada di luar waktu sekolah, seperti halnya yang
dilakukan Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Sistem kombinasi (perpaduan)
mazdhab Gontor dan Salaf ini belakangan banyak diterapkan di tengah tumbuhnya
pesantren-pesantren. Pengajaran kitab kuning pun tidak lagi menggunakan bahasa
Jawa sebagai bahasa pengantar sebagaimana yang ditemukan pada pesantren Salaf,
meskipun demikian metode pembacaannya (secara nahwu) masih mengikuti mazdhab
Salaf, yaitu menggantikan “Utawi-Iku” dengan “Bermula-Itu” pada kedudukan
mubtada dan khobar. Di sisi lain sejumlah pesantren mengikuti sylabus Depag
atau Depdikbud. Hal itu karena didorong tuntutan masyarakat yang menginginkan
anaknya menggondol ijazah negeri setelah menyelesaikan studinya. Sebagai
konsekwensinya, mau tidak mau beberapa materi yang terdapat pada Gontor
dikurangi mengingat jatah kurikulum pemerintah tadi. Atau paling tidak beberapa
jam pelajaran dibagi-bagi untuk memenuhi kurikulum tadi. Sehingga bobot
Gontornya sedikit berkurang. Namun demikian, langkah ini membantu para
alumninya melanjutkan pendidikan di mana saja karena adanya ijazah negeri.
Bentuk terakhir ini kita dapatkan pada Pondok Pesantren Daarun Najah, Daarul
Qolam dan pesantren-pesantren sekarang pada umumnya.
4. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN PENDIDIKAN
Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan kebijaksanaannya
dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang penyelenggaraan pendidikan
agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak
ulama yang dapat menjawab tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga
Indonesia yang mayoritas muslim mendalami ilmu agama. Ijazah pun telah
disetarakan dengan pendidikan umum sesuai dengan SK bersama tiga menteri
(Menag, Mendikbud, Mendagri). Dengan demikian lulusan madrasah disetarakan
dengan lulusan sekolah umum negeri.
Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut, terbukti
masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni (siswa) dan
materinya, sehingga cita-cita mencetak ulama yang handal kandas di tengah
jalan. Ha lini terbukti masih dominannya lulusan pesantren dalam soal
keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba tanggung, menjadi
seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak heran bila banyak suara
sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga menteri di atas hanya sebuah
upaya pengikisan Islam dan keilmuannya melalui jalur pendidikan. Sehingga pada
waktunya nanti Indonesia akan mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan
menjauhnya masyarakat dari madrasah. Mereka lebih bangga menxekolahkan
anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah
sulit mencari pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum, walaupun pendapat ini
tidak seluruhnya benar, tapi demikianlah yang kini berkembang di masyarakat.
Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non
kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak memiliki
ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan dengan ijazah
negeri. Akibatnya IAIN hanya diisi oleh lulusan-lulusan madrasah dan sekolah
umum yang note bone mutu pendidikan agamanya sangat minim. Padahal di
tengah-tengah suasana globalisasi dan keterbukaan , kwalitaslah yang menjadi
acuan, bukan formalitas.
Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian persamaan
negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja segala konsekwensi
yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena hal itu menjadi
tuntutan masyarakat.
5. PENDIDIKAN ISLAM ALTERNATIF
Beberpa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia
menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini banyak
ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang mengakomodir berbagai
tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-sekolah unggulan, SMP Plus, SMU
Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan respon dari fenomena di atas. Tidak
jarang kini ditemukan SMP atau SMU yang berasrama seperti halnya pondok
pesantren. Dipergunakannya nama “SMP” dan “SMU” di atas hanya lebih karena
dorongan kebutuhan market (pasar). Sebab, nama pondok pesantren pada sebagian
masyarakat masih dianggap kolot dan ketinggalan zaman.
Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah
dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya sejumlah
sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran) padahal lahir dari
sebuah SMP atau SMA.
Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara
ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama
sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam. Inilah mungkin yang
pernah diungkapkan oleh KH. Zainuddin MZ sebagai “Hati Mekkah, Otak Jerman”.
Walaupun semboyan ini tidak seluruhnya benar. Soalnya, pendidikan Islam harus
bersemboyan “Hati, Otak dan jiwa harus Islami”, dan ini telah terbukti dengan
lahirnya ilmuwan-ilmuuwan Islam di zaman keemasan.
Kegiatan belajar-mengajar di lembaga ini sama dengan pesantren, Ia juga
mempunyai nilai plus yang tidak didapatkan di sekolah umum biasa. Untuk
menghasilkan alumi yang handal, lembaga ini menyaring calon siswanya dengan
ujian masuk yang ketat. Kemampuan IQ dan intelejensi menjadi prioritas dalam
menerima para siswa. Fasilitas yang memadai menjadi daya tarik minat masyarakat
walau harus membayar dengan harga tinggi. Hal ini seiring dengan pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Bahkan sebagian lapisan masyarakat merasa bangga dengan
bayaran tinggi karena sesuai dengan mutu dan fasilitas.
Apakah bentuk pendidikan ini telah berhasil dan dianggap sukses?. Belum
tentu, selain belum lahirnya para alumni model ini, sistem pendidikan akan
terus berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat dan zaman. Bahkan
kemungkinan bentuk terakhir ini tidak mampu berjalan selama kurun satu atau dua
dasawarsa ke depan.
C.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan
Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa,
baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau
dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng
satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir
generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam. Tidak aneh bila ada anggapan
bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik
yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia, baik
melaui cara halus maupun kasar.
Walau bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar
dengan lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem
fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini
dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti
adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan
ajaran agamanya. Karena sekeluarnya dari almamater, dalam jiwanya merasa telah
bebas dari segala peraturan dan tata tertib pesantren, padahal sebenarnya
sebagian besar tata tertib itu adalah bagian dari ajaran Islam, seperti
berjilbab, sholat berjamaah, membaca al-Quran, menjauhi yang haram dan syubhat,
melakukan hal yang sunah dan lain sebagainya.
Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah,
kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun
bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.
Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu
dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing,
namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara
kaffah demi izzul Islam wal muslimin. Wallahu’alam
0 comments :
Post a Comment