PEMBAHASAN
A.
HADIST TENTANG NIAT
1. Materi Hadist
عَنْ
أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ،
وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ) .رواه إماما المحدثين أبو عبد الله
محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن
الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة(
Arti Hadist:
Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda : Sesungguhnya
setiap perbuatan itu (tergantung) niatnya. Dan sesungguhnya
setiap orang (akan dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa
yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya
karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad
bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al
Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua
kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)[1]
2. Kosa kata / مفردات :
اْلأَعْمَالُ :
Perbuatan
لنِّيَّات : Niat/maksud
إِنَّمَا
: Sesungguhnya. (kata penguat/ta’qid dan peringkas/taqshir
امْرِئٍ : Seseorang,
manusia
يُصِيْبُ : Mendapatkan/mencapai
امرأة : Seorang
wanita
3. Asbab al- wurud hadist tentang niat
Rasulullah SAW mengeluarkan hadist diatas (asbab
al-wurud)-nya adalah untuk menjawb pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan
dengan peristiwa hijrahnya rasulullah SAW. Dari mekkah ke madinah, yang diikuti
oleh sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu ada salah seorang laki-laki yang
turut serta berhijrah. Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan
islam melainkan hendak menikah dengan seorang wanita yang bernama Ummu
Qais. Wanita itu rupanya telah bertekad akan turut hijrah, sedangkan laki-laki
tersebut pada mulanya memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais hanya bersedia
dikawini ditempat tujuan hijrahnya Rasulullah SAW. yakni Madinah, sehingga
laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah
SAW,apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau tidak, Rasullah SAW
menjawab secara umum seperti disebutkan pada hadist diatas[2] .
Dalam hadist ini Rasulullah SAW menegaskan secara
khusus, bahwa tiap-tiap perbuatan bergantung kepada dorongan hati (kesengajaan)
pelakunya. Kemudian beliau mengambil contoh berupa perbuatan (amal) hijrah.
Hijrah para sahabat dan Nabi SAW dari Mekkah ke
Madinah adalah atas perintah Allah. Melakukan perintah Allah adalah ibadah.
Tetapi kalau di dalam melakukan perintah Allah itu maksudnya atau
kesengajaannya untuk mendapatkan keuntungan dunia atau materi, seperti istri,
harta, pangkat, kemasyuran, pujian dan lain-lain, maka perbuatan tersebut tidak
akan mendapat pahala dari Allah. Bahkan ia akan mendapatkan dosa, sebab Allah
menyatakan bahwa tiap-tiap orang dalam melekukan perintahnya harus bersikap
ikhlas, bersih dari pamrih keduniaan.[3]
B.
PENJELASAN HADIST
Islam adalah agama yang tidak pernah mengajarkan
adanya pekerjaan sia-sia, sehingga tidak satu pekerjaan pun yang boleh
dilakukan setengah hati. Setiap pekerjaan harus diselesaikan secara serius
dengan metodologi dan orientasi yang jelas. Dalam islam , semua kerja (amal)
memiliki nilai dan akan dicatat sebagai ibadah dihadapan Allah.
Karena itu tidak ada pekerjaan yang dilakukan tanpa
niat dan perencanaan yang jelas. Niat dalam khazanah ilmu fiqh adalah disebut
pemicu ruh dan inti ibadah. Niat menjadi tolak ukur diterima tidaknya ibadah
seorang hamba. Suatu amal yang tidak didasari niat yang benar dianggap tidak
bernilai. Sebab terdapat dua kemungkinan bagi seseorang yang mengerjakan suatu
perbuatan. Pertama, ada orang yang mengerjakan suatu pekerjaan tanpa tujuan,
tanpa aturan sebagaimana layaknya robot atau mesin. Kedua, ada yang
melekukan suatu perbuatan dengan penuh kesadaran dan memiliki tujuan yang jelas.
Niatlah yang akan mengantarkan seseorang agar memasuki kelompok kedua[4].
1. Arti dan makna niat dalam setiap pekerjaan (amal)
Niat atau niyyat, seperti yang dikutip dalam bukunya
teungku hasbi as shidieqy (mutiara hadist),menurt bahasa adalah tujuan hati dan
kehendak hati. Menurut syara ialah bergeraknya hati kearah sesuatu pekerjaan
untuk mencapai keridhaan allah dan untuk menyatakan tunduk dan patuh kepada
perintah-Nya.
Al baidhawy berkata: niat itu ialah bergeraknya hati
untuk engerjakan ssuaatu yang dipandang baik, untuk sesuattu maksud, baik untuk
menarik sesuatu manfaat ataupun untuk menolak sesuatu mudharat, dalam waktu
yang cepat atau dalam waktu yan akan datang. Syara menentukan niat dengan
iradat (kehendak hati) yang mengarah kepada pekerjaan untuk mencari keridhaan
Allah dan untuk menuruti perintahnya.
Kebanyakan ulama mutaakhirin Syafi’iyah mengartikan
niat syar’iyah (niat yang dipandang syara) dengan “menghendaki sesuatu,
bersamaan dengan mengerjakannya”[5].
Pengertian niat dalam ensiklopedi hukum islam secara
semantis berarti maksud, keinginan kehendak, cita-cita, tekad dan menyengaja.
Secara terminologis ulama fiqh mendifinisikan dengan “tekad hati untuk
melakukan sesuatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri semata-mata
kepada Allah[6].
2. Fungsi dan peranan niat dalam setiap amal ibadah
Niat merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
keabsahan suatu amal ibadah dan menentukan keabsahan suatu ibadah dan beberapa
jenis muamalah. Menurut istilahnya ialah kehendak hati untuk melakukan
perbuatan tertentu untuk mencari keridhaan Allah dan meleksanakan hukumnya.
Yang dikatakan niat menurut para fuqaha ialah sesuatu kehendak untuk
melaksanakan sesuatu perbuatan berbarengan dengan pelaksanaannya.
Yusuf Qardhawy menjelaskan dalam buku “Niat dan
Ikhlas”, bahwa niat itu merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah,
maka dari itu tidak pernan dikenal dari Rasulullah, dari sahabat dan
orang-orang salaf yang mengikuti mereka tentang adanya niat dalam ibadah yang
dilafadzkan[7].
Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati dan
dilakukan pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat
berperan penting dalam ajaran islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan
perintah syara, atau menurut sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung
harapan untuk mendapatkan pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai,
kualitas serta hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin mendapat
keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan mendapatkan
pahala dari Allah SWT. Sebaliknya kalau orang hijrah karena ingin mendapat
ridha Allah maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan dunia pun akan
diraihnya[8].
Agama islam mensyariatkan niat ada dua hikmah yang terkandung didalamnya:
a) Untuk membedakan
perbuatan-perbuatan yang semata-mata berdasarkan kebiasaan dengan
perbuatan-perbuatan ibadah.
b) Untuk membedakan martabat, nilai
ibadah dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang[9].
3. Pendapat para ulama mengenai hadist tentang niat
Menurut pendapat kebanyakan ulama pensyarah hadist, hadist
ini member pengertian atau bahwasanya niat itu, adalah syarat syah segala
amal yang dimasud (maqashid). Dan mereka berselisih paham tentang mensyaratkan
niat dalam urusan wasa-il. (yang menjadi jalan bagi muqashid atau orang yang
bermaksud).
Al-Ghazaly menetapkan, bahwasanya niat pada sesuatu
amalan, adalah syarat syahnya amal, niat yang diartikan menurut makna bahasa
(qashad dan iradat).
Menurut Ash-shidieqy hadist tersebut memberi suatu
pengertian yang tegas yaitu, segala amal bedasarkan motivasi dari seesorang,
kalau motivasi karena Allah, maka dipahalai. Kalau penggeraknya bukan karena
Allah tidak dipahalai dan mungkin diganjari dengan dosa.[10]
Lebih lanjut ash-Shidieqy menjelaskan bahwa niat
adalah ruh dan amal neracanya. Sesungguhnya tidaklah terjadi sesuatu amal
ikhtisyari yang diqashadkan (yang disengajakan) melainkan dengan adanya niat.
Maka yang diperoleh oleh seorang amil dari amalannya adalah apa yang
mendorongnya untuk beramal, bukan lahiriah amalan.
Lafal niat dalam bahasa Arab digunakan untuk ;
·
Membedakan antara suatu
amal dengan amal yang lain, antara sesuatu ibadah dengan ibadah yang lain,
·
Membedakan antara niat
seseorang dengan niat seseorang yang lain.
Al-imam Ibnu Katsir berkata, bahwa hadist nabi saw
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“sesungguhnya segala amal itu dengan niat”
Yang memberi pengertian bahwa amal yang
dipandang disisi Allah, hanyalah amal yang disertai niat, adalah karena tidak
ada sesuatu yang tersembunyi dari Allah, baik dibumi maupun dilangit. Dan
bukanlah kenyataan (rupa) amal yang berharga di sisi-Nya. Allah menghargai amal
seseorang menurut niat yang menggerakannya[11].
4. Kandungan dari hadist tentang niat
a) Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal
perbuatan, dan amal ibadah tidak akan menghasilkankan pahala kecuali
berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
b) Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya
di hati.
c) Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala
dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.
d) Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar
niatnya.
e) Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi
niat karena mencari keridhaan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
f) Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas)
adalah niat.
g) Hadist di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman
karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal
Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisandan diamalkan
dengan perbuatan.
5. Intisari hukum dari hadist tentang niat
Adapun hukum-hukum yang dapat diambil dari materi hadist
tentang niat antara lain:
a) Para ulama mengambil dalil dengan hadist ini
untuk melarang seseorang mengerjakan sesuatu amal sebelum diketahui hokumnya
yang pasti. Karena hadist ini memberi pengertian bahwasanya sesuatu amal
tidaklah dipandang ada (sah) kalau kosong dari niat dan tidaklah dihukum sahnya
niat kecuali sesudah mengetahui hukumnya.
b) Para ulama mengambil dalil pula dengan hadist ini untuk menetapkan
bahwa orang yang ceroboh tidak ada taklif 9beban hukum) atasnya, karena sesuatu
qasad menghendaki supaya kita mengetahui yang kita maksudkan, sedang orang
ceroboh tidak berniat.
c) Para ulama mengambil dalil dengan mafhum hadist
ini bahwa sesuatu yang bukan amal tidaklah disyaratkan niat, seperti jamak
taqdim (jamak shalat seperti menjamak shalat zuhur dengan ashar diwaktu zhuhur)[12].
PENUTUP
A. Kesimpulan
Niat dalam khazanah ilmu fiqh adalah disebut pemicu
ruh dan inti ibadah. Niat menjadi tolak ukur diterima tidaknya ibadah seorang
hamba. Dalam islam , semua kerja (amal) memiliki nilai dan akan dicatat sebagai
ibadah dihadapan Allah.
Niat itu ialah bergeraknya hati untuk engerjakan
ssuaatu yang dipandang baik, untuk sesuattu maksud, baik untuk menarik sesuatu
manfaat ataupun untuk menolak sesuatu mudharat, dalam waktu yang cepat atau
dalam waktu yan akan datang. Syara menentukan niat dengan iradat (kehendak
hati) yang mengarah kepada pekerjaan untuk mencari keridhaan Allah dan untuk
menuruti perintahnya.
Disepakati bahwa tempat niat adalah dalam hati dan dilakukan
pada permulaan melakukan perbuatan untuk tujuan amal kebajikan. Niat berperan
penting dalam ajaran islam, khususnya perbuatan yang berdasarkan perintah
syara, atau menurut sebagian ulama,dalam perbuatan yang mengandung harapan
untuk mendapatkan pahala dari Allah. Niat akan menentukan nilai, kualitas serta
hasilnya, yakni pahala yang akan diperolehnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Fauzan,Shalih bin Fauzan bin Abdullah,Kitab Tauhid
I,Jakarta: Darul Haq,1998
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi,Mutiara Hadist
1,Semarang: Pustaka RIzky Putra,2002
Kuraedah,St,Hadist Tarbawi,Kendari :Istana
Profesional,2008
Noer, Jefry,Shalat Yang Benar,Jakarta:Prenada
Media,2006
Qosim, Amjad,Hafal al-Quran Dalam Sebulan,Solo:Qiblat
Press,2008
Shabir, Muslilich, Terjemahan Riadu
Shalihin,Semarang:PT. Karya Toha Putra,2004
Syafe’I, Rachnat,Al-Hadist,Bandung:Pustaka Setia,2000
Thalib,M,Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadist,Surabaya:al-Ikhlas
[1] Muslilich
Shabir, Terjemahan Riadu Shalihin,(Semarang:PT. Karya Toha Putra,2004), hlm. 1
[2]
Rachnat Syafe’I,Al-Hadits,(Bandung:Pustaka Setia,2000),hlm.55-56
[3] M.
Thalib,Butir-Butir Pendidikan Dalam Hadits,(Surabaya:al-Ikhlas),hlm.9
[4]
Noer,Shalat Yang Benar,(Jakarta:Prenada Media,2006),hlm. 3
[5]
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Mutiara Hadits 1,(Semarang: Pustaka RIzky
Putra,2002),hlm.4
[6]
St. Kuraedah,Hadits Tarbawi,(Kendari :Istana Profesional,2008)hlm.60
[7]
Ibid
[8]
Syafe’I,Al-Hadits…,hlm.56-57
[9]
Kuraedah,…hlm.61
[10] Ash-Shidieqy,Mutiara…,hlm.6
[11]
Ibid,.hlm.7
[12]
Ash-Shidieqy,Mutiara...,hlm.8
0 comments :
Post a Comment