BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammad adalah seorang revolusioner sejati,
keberhasilannya merubah pola kehidupan masyarakat Arab hingga seluruh belahan
dunia dalam berbagai aspek kehidupan, menjadikannya layak mendapat julukan ini.
Setidaknya pendapat ini diyakini oleh semua umat Islam dan sebagian orientalis.
Michael H. Hart dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Paling Bepengaruh di
Dunia menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan pertama. Ia mengatakan bahwa
Muhammad adalah sosok manusia yang
berhasil memimpin dan menyebarkan Agama Islam hingga seluruh dunia.[1] Namun,
setelah terjadinya perang salib akibat gerakan ekspansi kekuasaan dan keagamaan
yang dilakukan oleh pasukan Islam sejak masa Khulafa’ ar-Rasyidun menimbulkan
kebencian dikalangan umat Kristen terhadap sosok Nabi Muhammad Saw. Kebencian
ini diwujudkan melalui berbagai cara, misalnya saja melalui propaganda
melalui pendapat, tulisan-tulisan, buku yang semuanya bertujuan menjatuhkan
pamor Muhammad dihadapan umatnya dan umat manusia lainnya.
Al-Qur’an dan al-Hadits yang menjadi sumber hukum Islam
juga tidak lepas dari sasaran sebagian orientalis yang tidak menghendaki Islam
berkembang. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an merupakan karya Muhammad yang
disesuaikan dengan kondisi Arab pada masa itu. Sehingga al-Qur’an tidaklah
wajib diimani. Hal ini kemudian bertentang dengan doktrin Islam yang tercantum
dalam al-Qur’an yang mengatakan bahwa al-Quran berasal dari Allah SWT. dan
tidak ada campur tangan manusia sama sekali di dalamnya, meskipun unsur
kebudayaan Arab pada masa itu menjadi latar belakang turunyna ayat-ayat
al-Quran.
Sejarah penetapan hukum Islam (tarikh Tasyri’) tidak terlepas dari
fenomena di atas. Proses penurunan ayat-ayat al-Quran hingga masa wafatnya Nabi
Saw. merupakan informasi otentik untuk
menjawab pertanyaan Benarkah al-Qur’an? Bagaimana proses tasyri’ pada masa Rasulullah?
Benarkah kondisi masyarakat Arab pada masa itu mempengaruhi Rasulullah dalam
melakukan Tasyri’?
B. Rumusan Masalah
Makalah ini
akan mengkaji lebih detail tentang berbagai permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana sejarah Arab
sebelum Islam datang?
2.
Bagaimana tarikh tasyri’
pada periode Makkah dan Madinah?
3.
Apa saja sumber-sumber
tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah?
4.
Bagaimana kedudukan ijtihad
Rasulullah SAW dalam penetapan hukum?
5.
Bagaimana kedudukan ijtihad
shahabat pada masa Rasulullah SAW?
6.
Apa saja hikmah dari
ijtihad Rasulullah SAW?
C. Tujuan
1.
Mengetahui sejarah Arab
sebelum Islam dating.
2.
Mengetahui tarikh tasyri’
pada periode Makkah dan Madinah.
3.
Mengetahui sumber-sumber
tarikh tasyri’ pada masa Rasulullah.
4.
Mengetahui kedudukan
ijtihad Rasulullah Saw dalam penetapan hukum.
5.
Mengetahui kedudukan
ijtihad shahabat pada masa Rasulullah Saw.
6.
Mengetahui hikmah dari
ijtihad Rasulullah Saw.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Arab
Pra-Islam datang
Sejarah penetapan hukum Islam tidak terlepas dari
pengaruh kondisi sosio-kultural masyarakat Arab Jahiliyah. Masyarakat Arab
Jahiliyah adalah masyarakat yang memiliki ketaatan yang tinggi terhadap
kepercayaan nenek moyang, berani, gemar sastra dan jarang melanggar janji.[2] Pola
kehidupan masyarakat Arab pada masa itu dengan cara berpindah-pindah (nomaden).
Sebagian daerah Arab dikenal dengan wilayah yang gersang dan hanya sebagian
kecil saja yang memiliki sumber kehidupan berupa air dan rumput untuk binatang
ternak. Kondisi geografis yang tidak menguntungkan ini kemudian menjadikan
persaingan antar suku menjadi sangat sering terjadi. Suku yang memiliki
kekuatan yang besar akan semakin mudah menguasai daerah-daerah yang subur.
Kenyataan ini membuat suku-suku di Arab membentuk suatu
perkumpulan yang lebih besar. Mereka juga menanamkan rasa kesetiaan pada kaum
dan sekutu-sekutunya. Hanya suku yang dapat menjamin keamanan anggotanya.
Doktrin ini dinamai dengan muru’ah. Muruah diartikan sebagai keberanian dalam
berperang, pengabdian terhadap tugas untuk melakukan pembalasan kesalahan yang
dilakukan terhadap suku, melindungi para anggota yang lemah dan menghadapi yang
kuat.[3] Doktrin
ini dijaga dari generasi ke generasi, setiap anggota wajib membela saudara
sesuku dan taat terhadap pemimpin.
Selain peperangan yang terjadi bertahun-tahun, banyak
sisi negatif dari kebudayaan masyarakat Arab Jahiliyah yang melanggar norma
kemanusiaan. Hukum Alam sangat menentukan nasib individu saat itu. Karen
Amstrong mengatakan bahwa hanya yang kuat yang bertahan dan itu berarti yang
lemah dileyapkan atau dieksploitasi secara memilukan. Perempuan dianggap
sebagai Sub Ordinat bagi laki-laki. Pembunuhan bayi, terutama terhadap bayi
perempuan yang cenderung lebih bertahan hidup daripada bayi laki-laki menjadi
cara yang lazim untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk.[4]
Bayi-bayi perempuan yang dibiarkan hidup hingga dewasa menjadi barang komoditi
perdagangan. Kedudukannya disamakan dengan harta benda, ia bisa dijual,
dibuang, atau diwariskan.
Dibidang keagamaan, orang Arab Pra-Islam memiliki
beberapa tradisi menyembah tuhan. Ada yang menyembah matahari, bulan, bintang,
dan melalui perantara berhala. Di antara
berhala-berhala yang paling dikenal yaitu Manata, Lata, dan Uzza. Orang-orang
Arab yang menyembah berhala sebenarnya telah mengenal Allah, sayangnya
berhala-berhala tersebut dijadikan sebagai
keluarga Allah dan wajib pula untuk di sembah.[5] Setiap tahunnya, masyarakat Arab Jahiliyah
melakukan ibadan mengelilingi ka’bah dengan cara mereka masing.
Dibidang ekonomi, masyarakat Arab Jahiliyah
mengandalkan penghasilannya dari sektor perdagangan. Pedagang yang memiliki
modal besar akan lebih menguasai pasar dari pada pedagang yang bermodal kecil.
Sering terjadi tindakan diskriminasi. Hak-hak rakyat miskin tidak pernah
diperhatikan bahkan mereka sering kali ditindas, harta anak-anak yatim dipergunakan
dengan sewenang-wenang, dan masih banyak sisi gelap kondisi masasyarakat Arab
Pra-Islam.
Berpijak pada fenomena sosio-kultural masyarakat Arab
Jahiliyah yang tidak teratur dan cenderung menimbulkan ketidakadilan, kehadiran
Islam membawa sebuah reformasi dan perbaikan dalam sistem kehidupan
bermasyarakat dan beragama.
B. Tasyri’ Periode
Mekkah Dan Madinah
Hukum islam pada masa Nabi Muhammad Saw dapat dibedakan
menjadi dua fase: fase Mekkah dan Madinah. Adapun masyarakat pada fase Mekkah
dapat di cirikan sebagai berikut:
1. Jumlah muslim masih minoritas
2. Kekuatan yang dimiliki masih sangat lemah
3. Dikucilkan dari masyarakat Mekkah saat itu (blokade ekonomi)
Oleh karena itulah langkah awal yang dilakukan Nabi
Muhammad Saw saat itu adalah menguatkan akidah terlebih dahulu sebagai pondasi
amaliah ibadah.
Dengan
mengokohkan akidah diharapkan para muallaf tidak kembali lagi pada
kepercayaannya semula, seperti berperang (membunuh), zina, mengubur anak
perempuan hidup-hidup. Selain itu mereka juga diharapkan dapat menegakkan
keadilan, kebaikan, dan saling tolong-menolong.
Dalam al-Qur’an fase Mekkah ayat yang turun rata-rata
seputar penolakan terhadap syirik dan mengajak kepada ketauhidan dan hikmah
dari kisah terdahulu. Pada fase ini al-Qur’an masih sedikit membahas masalah
ibadah kecuali setelah hijrah tetapi erat kaitannya dengan ibadah, seperti
pengharaman bangkai, darah, semblihan yang tidak menyebutkan nama Tuhan.
Setelah berusaha 13
tahun dan kurang mendapatkan tempat dihati masyarakat Mekkah bahkan saat
itu Rasulullah beserta umat muslim dimusuhi, maka Rasulullah memutuskan untuk
hijrah ke Madinah.
Pada saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau disambut
dengan meriah oleh pengikut-pengikutnya, selain itu umat muslim sudah bisa
meninggalkan aqidah lamanya. Ciri-ciri masyarakat fase Madinah sebagai berikut:[6]
1. Jumlahnya telah banyak serta berkualitas
2. Mengeliminasi permusuhan dalam rangka mengesakan Allah SWT
3. Telah adanya syariat Islam untuk mencapai kebaikan dalam
masyarakat
4. Membentuk aturan damai dalam perang
Adapun syariat yang muncul ketika fase Madinah seperti
muamalat, jihad, jinayat, mawarits, wasiat, talak, sumpah, dan peradilan.
Pada fase ini dapat dijelaskan bahwa kekuasaan hukum
didasarkan kepada Rasulullah Saw secara langsung tanpa campur tangan orang lain.
Sementara sumber yang digunakan adalah wahyu, baik yang matlu yaitu al-Quran
ataupun ghoiru matlu yaitu Sunnah, sehingga pada masa ini belum penah terjadi
perselisihan dalam hukum. Dan kebanyakan dari ayat-ayat yang diturunkan
berkenaan atau sesuai dengan suatu peristiwa atau menjadi jawaban dari
pertanyaan.
Oleh karena itu, pada fase ini Islam telah terbina
menjadi satu kekuatan dalam pemerintahan. Dan sumber hukum bukan hanya
al-Qur’an dan Hadits, tetapi telah diakui bahwa nabi berijtihad dalam sebagian
hukum dan maengakui ijtihad sahabat dari sebagian yang lain.[7][7]
C. Sumber Tasyri’
pada Periode Rasulullah SAW
Dalam kepustakaan hukum Islam, sumber hukum Islam
seorang juga disebut dengan dasar hukum atau dalil hukum. Sumber adalah asal
sesuatu, dan arti sumber hukum Islam sendiri adalah asal (tempat pengambilan)
hukum Islam. Dalam al-Qur’an Surat an-Nisa’: 59 disebutkan bahwa setiap muslim
wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rasul dan kehendak ulil ‘amri yakni
orang yang mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan untuk mengalirkan
ajaran hukum Islam dari dua sumber utamanya yakni al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad.
Perundang-undangan di masa Rasul mempunyai dua sumber
yaitu wahyu Allah dan sunnah Rasul, yang tidak terlepas dari pengawasan Allah. Bahwa
tiap-tiap hukum dalam al-Qur’an disyariatkan untuk sesuatu kejadian yang
memerlukan penetapan hukumnya.
1.
Al-Quran adalah sumber
hukum pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang
perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. al-Quran berasal dari
kata qara-a (membaca) berubah menjadi kata benda qur’an berarti bacaan atau
sesuatu yang harus dibaca dan dipelajari. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
berfungsi sebagai mukjizat bagi Muhammad, sebagai pedoman hidup bagi setiap
muslim dan sebagai korektor dan penyempurna kitab-kitab Allah sebelumnya.
Sayaknid Husein Nasr berkata bahwa al-Qur’an mempunyai tiga petunjuk bagi
manusia Pertama, adalah ajaran yang memberi pengetahuan tentang berbagai hal
baik jagat raya maupun makhluk yang mendiaminya, termasuk ajaran tentang
keyakinan atau iman, hukum atau syariat, dan moral atau akhlak. Kedua,
al-Qur’an berisi sejarah atau kisah-kisah manusia zaman dulu termasuk kejadian
para Nabi, dan berisi pula tentang petunjuk di hari kemudian atau akhirat.
Ketiga, al-Qur’an berisi pula sesuatu yang sulit dijelaskan dengan bahasa biasa
karena mengandung sesuatu yang berbeda dengan yang kita pelajari secara
rasional.
Akomodasi Hukum Islam dalam al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyu Allah kepada
Nabi Muhammad SAW, “akomadatif” terhadap hukum yang hidup dan berkembang di
masyarakat Arab pra-Islam. Dalam al-Qur’an terdapat tawaran perbaikan yang
berupa pembatalan dan perubahan, di antaranya adalah:[8][8]
·
Hukum Poligami
Perkawinan telah dilakukan manusia sebelum al-Qur’an
diturunkan. George Whitecroos Paton (1955: 438) menjelaskan bahwa pada awalnya,
manusia melakukan persetubuhan secara bebas tanpa ada paksaan. Pada fase kedua
dilakukan melalui perkawinan poliandri, yaitu seorang perempuan memiliki banyak
suami; fase ketiga adalah Poligami, yaitu seorang suami memiliki banyak istri;
dan yang terahir adalah monogami, yaitu seorang laki-laki hanya memilki seorang
istri dan sebaliknya seorang istri memiliki seorang suami.
Friederick Engels (sebagimana dikutip oleh Arif
Budiman, 1985:49) juga menjelaskan tentang evolusi perkawinan yang hampir sama
dengan penjelasan di atas, yaitu: perkawinan masyarakat liar, perkawinan masyarakat Barbar, dan perkawinan masyarakat
beradab. Perkawinan Barbar adalah seorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan tetapi, baik laki-laki maupun perempuan, di samping memiliki istri
atau suami utama, memilki pula istri-istri atau suami-suami lain. Dengan
demikian, perkawinan Barbar adalah poligami. Poligami mengandung dua arti: Poligami
dan poliandri. Poligami adalah seorang suami yang memilki istri banyak.
Sedangkan poliandri adalah seorang istri memiliki suami banyak.
Perkawinan masyarakat beradab adalah monogamy, yaitu
seorang suami hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya. Di dunia islam,
pendapat yang mengatakan bahwa semangat al-Qur’an itu monogami, diantaranya
dikemukakan oleh Fazlur Rahman. (Muhammad Azhar, 1966:75-6)
Tawaran perubahan yang terdapat dalam al-Qur’an adalah
pernikahan Poligami, poliandri diharamkan dengan jumlah istri yang dibatasi,
yaitu empat orang (QS. al-Nisa’ 4: 3)
·
Syarat-Syarat Penerimaan
Harta Pusaka
Pembagian harta pusaka telah dilakukan penduduk Arab
pra-Islam. Dalam tradisi nenek moyang mereka terdapat ketentuan utama bahwa anak
yang belum dewasa dan perempuan tidak berhak mendapatkan harta pusaka (Fatchur
Rahman, 1987: 11). Adapun syarat-syarat mempusakai pada zaman Arab Jahiliah
adalah (1) pertalian kerabat, (2) janji setia, dan (3) adopsi.
Pada dasarnya, setiap yang mempunyai hubungan kerabat,
orang yang mempunyai ikatan janji setia, dan anak angkat adalah ahli waris.
Meraka berhak mendapatkan harta pusaka apabila telah memenuhi syarat, yaitu (1)
dewasa, (2) laki-laki (Fatchur Rahman 1987: 12-3). Dengan demikian, ahli waris dari
golongan kerabat terdiri dari atas laki-laki, yaitu (1) anak laki-laki, (2)
saudara laki-laki, (3) paman, dan (4) anak paman. (Fatchur Rahman 1987: 13)
Pada zaman awal Islam (setelah Nabi Saw dan sahabat
hijrah ke Madinah) selain karena pertalian nasab atau kerabat, terdapat tiga
sebab mendapatkan harta pusaka, yaitu (1) adopsi, (2) hijrah, dan (3)
persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar). (Fatchur Rahman 1987: 16-7)
Akomodasi al-Qur’an terhadap tradisi Arab pra-Islam di
antaranya dengan menjadikan perempuan sebagai anggota keluarga yang mendapatkan
harta pusaka baik sebagai anak, istri, ibu maupun saudara. Pokok- pokok hukum
waris dicantumkan dalam surat al-Nisa’ 4: 7-14. Hal lainnya adalah
dibatalkannya saling mewarisi yang disebabkan oleh adopsi (QS. al-Ahzab 33:
4-5).
2.
As-Sunnah atau al-Hadist
adalah sumber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Menurut ulama ahli ushul,
hadis adalah “segala perkataan, segala perbuatan, dan segala ketetapan Nabi
Muhammad Saw, yang berkaitan dengan hukum”.[9][9]
ketentuan hukum dalam hadis, dalam hubungannya dengan al-Qur’an ada tiga macam.
Pertama, hadis memuat hukum yang sesuai dengan hukum yang ada dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini hadis memperkuat hukum yang ada dalam al-Qur’an atau mengulangi
apa yang dikatakan dalam al-Qur’an, sehingga suatu perbuatan mempunyai dua
sumber sekaligus. Kedua, hadis memuat hukum yang menjelaskan hukum dalam
al-Qur’an. Penjelasan ini dapat berupa:
·
Merinci yang umum (seperti
perincian tata cara shalat) misalnya; al-Qur’an menyatakan perintah shalat : “Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah:
110)
Shalat dalam ayat ini masih bersifat umum, maka
as-Sunnah merinci secara operasional, baik kaifiyatnya, (bacaanya dan
gerakannya). Nabi bersabda: shalat kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat
(al-Hadis). Demikian pula status hukumnya wajib atau sunnah, misalnya orang Badui
bertanya kepada Rasulullah beritahukan kepadaku shalat yang difardhukan
untukku? Rasulullah berkata: “shalat lima waktu, yang lainnya sunnah”.(HR.
Bukhari dan Muslim)
·
Membatasi yang mutlak
(seperti batasan wasiat, sepertiga) misalnya dalam al-Qur’an menyatakan:
Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan
disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah:
"Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan
memungkiri janji-Nya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui?" (QS. Al-Baqarah: 80)
Mengenai hal ini, as-Sunnah memberikan batas mengenai banyaknya wasiat
agar tidak melebihi sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Hal ini disampaikan
oleh Rasulullah Saw. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dari
Saad bin Abi Waqash ra. Yang menanyakan kepada Rasulullah Saw. Tentang jumlah
wasiatny, Rasulullah melarang memberikan wasiat seluruhnya, tetapi hanya
menyetujui sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.[10]
Ketiga, hadis memuat hukum baru yang tidak disebutkan
dalam al-Qur’an secara jelas. Dalam hal ini seolah-olah Nabi menetapkan hukum
sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan dengan seksama, apa yang ditetapkan
oleh Nabi itu pula hakikatnya adalah penjelasan apa yang disinggung Allah dalam
al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Allah secara terbatas. Dari segi
jumlah periwayatan, ulama Hanafiyah membagi hadis menjadi tiga, yaitu:
o
Hadis mutawatir, yaitu
hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pada masa sahabat, tabi’in,
tabi’it-tabi’in oleeh orang banyak dan tidak munkin mereka berdusta,
o
Hadis masyhur, yaitu hadis
yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pada masa sahabat oleh orang banyak tetapi
tidak sampai batasan mutawatir,
o
Hadis ahad, yaitu hadis
yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Pada masa sahabat, tabi’in, dan
tabi’it-tabi’in oleh orang yang jumlahnya tidak sampai batas mutawatir.
Penggolongan hadis tersebut di atas berkaitan dengan
kedudukannya sebagai sumber hukum. hadis mutawatir menimbulkan keyakinan
tentang kebenaran isinya dan harus diikuti. Oleh karena jumlah periwayatannya
menjadi jaminan tidak adanya kesepakatan untuk berdusta, maka hadis mutawatir
tidak menjadi objek pembicaraan ilmu hadis dari segi kualitasnya maqbul
(diterima sebagai sumber hukum) atau mardud (ditolak menjadi sumber hukum).
pembicaraan tentang kualitas hadis berlaku pada hadis ahad. Hadist ahad yang
shahih dan hadis ahad yang hasan nilainya maqbul (diterima sebagai sumber
hukum), sedangkan hadis ahad yang dhaif nilainya mardud (ditolak sebagai sumber
hukum).[11]
D. Ijtihad Nabi
Muhammad SAW
Pada saat Rasulullah masih hidup, penentuan hukum
berdasarkan atas dua sumber yaitu wahyu Allah dan ijtihad Rasulullah Saw.
Terjadinya suatu peristiwa yang menghendaki adanya hukum dapat timbul karena
adanya suatu pertanyaan atau perselisihan bahkan atas permintaan Rasul, maka
Allah mewahyukan kepada Rasul-Nya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum
yang dikehendaki untuk disampaikan kepada umatnya.[12]
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad Nabi Muhammad
Saw terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari Allah. Sebagian ulama
Asy’ariyah dan kebanyakan ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw
tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash,
yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul,
di antaranya Abu Yusuf al-Hanafi dan al-Syafi’i membolehkannya.
Sebagian shahabat al-Syafi’I al-Qadli Abd al-Jabar, dan
Abu Hasan al-Bashri berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw melakukan ijtihad dalam
berperang, bukan dalam bidang hukum.
Menurut sebagian ulama, Nabi Saw tidak berijtihad sebab
perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-Sunnah – sunber atau dalil
hukum islam kedua – juga berdasar firman Allah:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya;
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS.
al-Najm: 3-4)
Ijtihad Nabi Muhammad Saw telah diteliti secara khusus
oleh Abd al-jalil ‘Isa dengan judul Ijtihad al-Rasul Salla Allah ‘alaihi wa Sallam
yang diterbitkan oleh Dar al-Bayan di Beirut. Dalam buku tersebut, Abd al-Jalil
‘Isa mengemukakan pendapat ulama yang membolehkan Nabi Muhammad Saw melakukan
ijtihad.
Dalam kitab al-Fishal fi al-Mihal wa al-Ahwa wa
al-Nihal, Ibnu Hazm berkata, “Kadang-kadang para Nabi bermaksud memutuskan dan
atau mengerjakan sesuatu untuk mendapatkan ridla Allah, tetapi ternyata
keputusan dan pekerjaannya tidak sesuai dengan kehendak Allah, seperti
peristiwa perceraian Zainab dengan Zaid ibn Haritsah dan kemudian Zainab kawin
dengan Nabi Muhammad Saw; dan peristiwa Ibnu Umi Maktum.
Al-Qadli ‘Iyadl, dalam kitab al-Syifa’, berpendapat
bahwa Nabi Muhammad berijtihad tentang masalah duniawi. Salah satu contohnya
adalah strategi perang yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad Saw dalam Perang
Khandaq. Strategi perang yang ditetapkan Nabi Muhammad Saw ditolak oleh
kalangan Anshar.
‘Abd al-Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh
ijtihad yang dilakukan Nabi Muhammad Saw, diantaranya sebagai berikut:
a. Ketika
ditanya tentang cara memperlakukan anak-anak Musyrikin yang ikut dalam
berperang, Nabi Muhammad Saw menjawab, ”Mereka diperlakukan seperti
bapak-bapaknya.”
b. Qiblat
umat Islam sebelum ditetapkan oleh Allah SWT adalah Bait al-Maqdis. Umat Islam
shalat menghadap ke Bait al-Maqdis selama 16 atau 17 bulan. Shalat ke Bait
al-Maqdis adalah ijtihad Nabi Muhammad Saw.
c. ‘Abd
Allah ibn Ubai (tokoh munafik) dating kepada Nabi Muhammad Saw dan meminta
beliau agar beristigghfar (memohonkan ampunan kepada Allah) unutknya. Kemudian
nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar ‘Abd Allah ibn Ubai diampuni. Di
samping itu, Nabi Muhammad Saw memohon kepada Allah agar Abd Allah ibn Ubai
diberi petunjuk oleh Allah. Kemudian Allah berfirman;“kamu memmohonkan ampun
bagi mereka (orang-orang munafik) atau kamu tidak memohonkan ampun bagi mereka
(adalah sama saja).” (QS. al-Taubah: 80)
Demikian beberapa contoh ijtihad yang dikemukakan oleh
‘Abd al-Jalil ‘Isa dan Muhammad Salam Madkur. Karena melakukan ijtihad, Nabi
Muhammad Saw kemungkinan salah dalam ijtihadnya. Dalam menanggapi hal ini,
ulama berbeda pendapat. Menurut al-Syafi’iyah, Nabi Muhammad Saw tidak akan
salah dalam berijtihad; sedangkan al-Juba’I dan Mu’tazilah berpendapat bahwa
Nabi Muhammad Saw bisa salah dalam berijtihad tetapi kemudian ditegur oleh
Allah atau shahabat.[13]
E. Ijtihad
Shahabat Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Dalam periode ini telah terjadi sumber tasyri’ yang
pertama yakni al-Qur’an yang mempengaruhi terhadap perundang-undangan Islam,
sedangkan sumber hukum yang utama yang dijadikan pegangan dalam periodesasi ini
adalah al-qur’an dan al-Hadits.[14]
Disamping al-Qur’an dan Sunnah, terdapat sumber hukum
yang ketiga, yaitu ijtihad. Dari segi
cara, ijtihad adalah metode penggalian hukum islam; sedangkan dari segi
“hasil”, ia (hasil ijtihad) termasuk sumber hukum islam.
Diantara shahabat yang melakukan ijtihad pada zaman
Nabi Muhammad Saw adalah mereka yang diutus untuk mennjadi qadli atau hakim.
Diantaranya ‘Ali ibn Abi Thalib yang diutus oleh Rasul Saw untuk menjadi hakim
di Yaman; Mu’adz ibn Jabalyang diutus oleh Nabi Saw menjadi hakim di Yaman; dan
khuzaifah al-Yamani yang diutus oleh Nabi Saw untuk menyelesaikan sengketa
dinding antara tetangga yang masing-masing mengaku bahwa dinding itu miliknya.
Di antara ijtihad shahabat yang dilakukan pada zaman
nabi Muhammad Saw adalah sebagai
berikut:
a. Suatu
hari shahabat Nabi Saw berkunjung ke Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi
bersabda, “La Yushaliyanna ahadukum al-‘Ashra illa fi bani Quraizhah; jangan
sekali-kali kamu melaksanakan shalat asar kecuali di Bani Quraizhah. “sebelum
sampai ke Bani Quraizhah, waktu Asar hampir habis. Sebagian shahabat berijtihad
dengan melakukan shalat di perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah
tersebut adalah supaya shahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa
sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Asar habis. Sebagian shahabat
lagi berpegang kepada makna tersurat sabda Nabi Saw tersebut, sehingga mereka
shalat Asar di bani Quraizhah pada malam hari. Menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, mereka adalah ahl al-zhahir pertama dan ahl al-ma’na pertama.
Muhammad Salam Madkur mangatakan, ketika berita ikhtilaf itu sampai kepada Nabi
Saw, beliau membenarkan kedua tindakan shahabat tersebut.
b. Dua
orang shahabat melakukan perjalanan. Ketika waktu shalat tiba, mereka tidak
mendapatkan air untuk berwudlu. Keduanya bertayamum dan kemudian shalat.
Setelah shalat selesai, mereka mendapatkan air. Seorang shahabat berwudlu dan
kemudian shalat kembali; sedangkan shahabat yang satu kagi tidak. Kemudian
keduanya dating kepada Rasul Saw dan menceritakan pengalamannya. Kepada yang
tidak berwudlu dan tidak mengerjakan shalat, Nabi Saw bersabda, “Ashabta
al-Sunnah”; Engkau mengerjakan sesuai Sunnah.” Sedangkan kepada shahabat yang
berwudlu dan mengerjakan shalat, Nabi Saw bersabda, “al-Ajr marratain; Engkau
mendapatkan pahala dua kali”.[15]
Adapun cara
ijtihad yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan
hukum dengan dasar ra’yu perorangan (Ijtihad Fardi)
2. Menetapkan
hukum dengan dasar mengadakan ijma’ (Ijtihad Jama’i)
Para shahabat yang memegang ijtihad pada periode ini, menetapkan hukum
dan dalil-dalilnya melalui al-Qur’an dan Sunnah, sesudah mereka selidiki secara
benar-benar baru mereka menggunakan penyelidikan akal dan memakai keputusan
yang sempurna.[16]
F. Hikmah Ijtihad Pada Masa Rasulullah SAW
Setelah kita mengetahui bagaimana ijtihad pada masa Rasulullah Saw,
alangkah baiknya jika kita mengetahui hikmah dari ijtihad tersebut, yaitu:
1. Ijtihad
Rasul sangat diperlukan untuk memperoleh penjelasan atau keputusan hukum
mengenai suatu peristiwa dengan segera terhadap suatu hukum yang tidak ada
dalam wahyu Allah SWT.
2. Ijtihad
adalah perbuatan manusia, dengan berrijtihad akan menunjukkan kepada umat
bahwa, Rasul adalah manusia juga seperti manusia lainnya. Hanya saja apabila
ijtihad Rasulullah keliru, maka kekeliruan itu langsung diingatkan oleh Allah
dan dibenarkan atau diluruskan.[17]
BAB
III
PENUTUP
Dari beberapa uraian di atas, maka
dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sejarah
penetapan hukum Islam tidak terlepas dari pengaruh kondisi sosio-kultural
masyarakat Arab Jahiliyah. Pola kehidupan masyarakat Arab pada masa itu dengan
cara berpindah-pindah (nomaden).
2. Tarikh
tasyri’ pada periode Rasulullah Saw
dibagi menjadi dua fase, yaitu fase Makkah dan fase madinah. Fase Makkah dengan
ciri-ciri:
a. Jumlah
muslim masih minoritas
b. Kekuatan
yang dimiliki masih sangat lemah
c. Dikucilkan
dari masyarakat Mekkah saat itu (blokade ekonomi)
Sedangkan fase
Madinah dengan cirri-ciri:
a. Jumlahnya
telah banyak serta berkualitas
b. Mengeliminasi
permusuhan dalam rangka mengesakan Allah SWT
c. Telah
adanya syariat Islam untuk mencapai kebaikan dalam masyarakat
d. Membentuk
aturan damai dalam perang
3. Sumber-sumber
tarikh tasyri’ yang digunakan pada masa Rasulullah adalah al-Qur’an dan
al-hadis.
4. Apabila
terjadinya suatu peristiwa yang menghendaki adanya hukum mungkin timbul karena adanya suatu pertanyaan atau
perselisihan bahkan atas permintaan Rasul, maka Allah mewahyukan kepada
Rasul-Nya ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum yang dikehendaki untuk
disampaikan kepada umatnya. Tetapi jika hukum yang dikehendaki itu tidak ada
dalam al-qur’an, maka Rasulullah Saw melakukan Ijtihad. Yang mana apabila
Ijtihad rasul itu salah, maka Allah SWT akan mengingatkan dan membenarkannya.
5. Pada
masa Rasullah Saw sudah ada Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat, akan
tetapi Ijtihad yang dilakukan oleh para shahabat tersebut hanya terbatas pada
waktu-waktu tertentu saja. Karena sulitnya untuk dikembalikan kepada Rasul sebab
jarak atau khawatir akan hilangnya kesempatan dan waktu.
DAFTAR
PUSTAKA
Amstrong, Karen. 2007. Sejarah Muhammad.
Magelang: Purtaka Horizona.
Daud Ali, Muhammad. 2005. Hukum Islam Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
H. Hart, Michael.1978. Seratus Tokoh yang Paling
Berpengaruh dalam Sejarah. Jakarta: PT. Dunia Pustaka, Jaya 1982.
Jaih Mubarok, Jaih. 2003. Sejarah dan Perkembangan
Hukum Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
Jazuni. 2005. Legislasi Hukum Islam Di Indonesia.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Roibin. 2007. Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah
(Telaah Sosio Historis Atas Kondisi Tasyri’ Islam). Malang: Fakultas
Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Subhani, Ja’far. 2006. Sejarah Nabi Muhammad SAW.
Jakarta: Lentera.
Zainuddin, Ali. 2006. Hukum Islam Pengantar Ilmu
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Zuhri, Muhammad. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]
Michael H. Hart , Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, 1978
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka, Jaya 1982), hlm. 1
[3]
Karen Amstrong, Sejarah Muhammad, (Magelang: Purtaka Horizona, 2007), hlm.81
[4]
Ibid., hlm.84
[5]
Muhammad Zuhri. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta:PT. RajaGrafindo
Persada,1996), hlm.5
[6]
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2003), hlm.22-23
[7]
Roibin, Tasyri’ Dalam Lintasan Sejarah (Telaah Sosio Historis Atas Kondisi
Tasyri’ Islam), (Malang: Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang, 2007), hlm19-20
[8]
Jaih Mubarok, Op.cit., hlm. 24
[9]
Muhammad Daud Ali. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Hal:97
[10]
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. hlm.34
[11]
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia. hlm.29
[12]
Roibin, Op.cit., hlm. 23
[13]
Jaih Mubarok, Op.cit., hlm.30-33
[14]
Roibin, Op.cit., hlm.23
[15]
Jaih Mubarok, Op.cit., hlm.33-34
[16]
Roibin, Op.cit., hlm.24
[17]
Ibid., hlm.25-26
0 comments :
Post a Comment