BAB
I
PENDAHULUAN
Pada akhir dasawarsa abad ke-20,
demokratisasi menjadi salah satu isu yang paling populer diperbincangkan.
Indikasi nyata dari kepopuleran isu itu adalah berlipat gandanya jumlah negara
yang menganut sistem pemerintahan demokratis. Negara yang awalnya tidak
demokratis, serta merta merubah haluan negaranya menjadi demokratis.
Demokrasi pada substansinya
adalah sebuah proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat
seseorang yang berhak memimpin dan mengurus tata kehidupan komunal mereka. Dan
tentu saja yang akan mereka angkat atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai.
Mereka tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial atau
politik yang tidak mereka kenal atau tidak mereka sukai. Mereka berhak
mengontrol dan mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak mencopot
dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.
Demokrasi sering diartikan
sebagai penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, partisipasi dalam
pengambilan keputusan dan persamaan hak di depan hukum. Dari sini kemudian
muncul idiom-idiom demokrasi, seperti egalite (persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human right (hak asasi manusia), dst.
Secara normatif, Islam menekankan
pentingnya ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar bagi semua orang, baik sebagai
individu, anggota masyarakat maupun sebagai pemimpin negara. Doktrin tersebut
merupakan prinsip Islam yang harus ditegakkan dimana pun dan kapan saja, supaya
terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.
Bagaimanakah konsep demokrasi
Islam itu sesungguhnya? Jika secara normatif Islam memiliki konsep demokrasi
yang tercermin dalam prinsip dan idiom-idiom demokrasi, bagaimana realitas
empirik politik Islam di negara-negara Muslim? Bagaimana dengan pengalaman
demokrasi di negara-negara Islam? Benarkah Samuel Huntington dan F. Fukuyama,
yang menyatakan bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak compatible dengan
demokrasi? Tulisan ini ingin mengkaji demokrasi dalam perspektif Islam dari
aspek elemen-elemen pokok yang dikategorikan sebagai bagian terpenting dalam
penegakan demokrasi.
BAB
II
DEMOKRASI
DALAM ISLAM
2.1
Pengertian Demokrasi
Isitilah
demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di athena kuno pada abad
ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah
sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah
ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18 , bersama perkembangan sistem demokrasi di banyak negara. Kata
demokrasi yang bahasa Inggrisnya democracy berasal dari kata dalam bahasa
Yunani yaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos berarti pemerintahan. Dalam
pengertian ini, demokrasi berarti demokrasi langsung yang dipraktikkan di
beberapa negara kota di Yunani kuno. Dengan demikian, demokrasi dapat bersifat
langsung seperti yang di Yunani kuno, berupa partisipasi langsung dari rakyat
untuk membuat peraturan perundang-undangan, atau demokrasi tidak langsung yang
dilakukan melalui lembaga perwakilan. Demokrasi tidak langsung ini cocok untuk
negara yang penduduknya banyak dan wilayahnya luas.
Aristoteles,
seorang filsuf Yunani yang lahir pada tahun 387 SM, yang menguraikan kata
demokrasi dalam hubungannya dengan kedaulatan negara, apakah dipegang oleh satu
orang, sekelompok orang atau banyak orang. Apabila orang yang memegang
kedaulatan untuk kepentingan orang banyak maka disebut monarki. Kemudian
apabila yang memegang kedaulatan sekelompok orang untuk orang banyak disebut
aristokrasi.
Kemudian ada
pula ajaran dari Polybios, seorang ahli negara Yunani, yang di Roma sebagai
seorang tawanan perang. Polybios mengajarkan adanya bentuk negara tersebut
adalah terdiri dari 3 (tiga) bentuk ideal, dan 3 (tiga) bentuk kemerosotan.
Teorinya tentang perkembangan, bentuk negara didasarkan atas asas dan akibat,
sebab yang sama akan membawa akibat yang sama pula. Dia menguraikan proses
pertumbuhan dan musnah (lenyapnya) bentuk negara secara psikologia, dan
perkembangan dari bentuk negara yang satu ke bentuk negara yang lainya akan
merupakan suatu siklus (lingkaran).
Di dunia
barat, seperti yang diajukan oleh Abraham Lincoln, demokrasi diartikan sebagai
“Pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat (terjemahan dari
Government by the people, from the people and for the people).”
Demokrasi di
dunia Barat, seperti di Eropa Barat, Inggris dan negara-negara persemakmuran,
Amerika Serikat dan negara-negara di wilayah Skandinavia, dilaksanakan dalam
kaitan ajaran tentang pembagian kekuasaan, di mana badan pembuat undang-undang
dilaksanakan parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan kekuasaan eksekutif
bertanggung jawab kepada parlemen, seperti yang terjadi di Inggris dan Belanda,
atau presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat seperti yang terjadi di
Amerika Serikat dan Prancis.
2.2 Demokrasi
dan Islam
Banyak
kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak
terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia
Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright,
pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of
Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi
terjadinya modernitas politik.
Peraih Nobel
Gunnar Myrdal dalam karya magnum opus-nya Asian Drama mengidentifikasi seperangkat
modernisasi ideal termasuk di dalamnya demokrasi. Berkenaan dengan agama secara
umum dan Islam khususnya, dia mengatakan: Doktrin dasar dari agama-agama Hindu,
Islam dan Budha tidaklah bertentangan dengan modernisasi. Sebagai contoh,
doktrin Islam, dan relatif kurang eksplisit doktrin Budha, cukup maju untuk
mendukung reformasi sejajar dengan idealisme modernisasi.
Apabila
demokrasi identik dengan egalitarianisme, maka Islam dan Budha dapat memberikan
dukungan bagi salah satu idealisme modernisasi khususnya reformasi egalitarian.
John O. Voll dan John L. Esposito, dua pakar yang menjembatani Barat dan Timur
tidak sepakat atas pandangan bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat ketemu.
Menurut kedua pakar ini dalam khazanah Islam terkandung konsep yang memberikan
fondasi bagi muslim kontemporer untuk mengembangkan program demokrasi Islam
yang otentik.
Dalam
menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil
Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign
Affairs:
“Kebanyakan
peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia
sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau
seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa
sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam
tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara
literal membahas demokrasi”.
Banyak
kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara
meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel;
sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam
adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). Khaled Abou el-Fadl, Ziauddin
Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman dan Syaikh
Yusuf Qardawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah
payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling
pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan
demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan
terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan.
Menurut
Merriam, Webster Dictionary, demokrasi dapat didefinisikan sebagai
“pemerintahan oleh rakyat; khususnya, oleh mayoritas; pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi tetap pada rakyat dan dilakukan oleh mereka baik langsung
atau tidak langsung melalui sebuah sistem perwakilan yang biasanya dilakukan
dengan cara mengadakan pemilu bebas yang diadakan secara periodik; rakyat umum
khususnya untuk mengangkat sumber otoritas politik; tiadanya distingsi kelas
atau privelese berdasarkan keturunan atau kesewenang-wenangan.
Realitasnya
adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau
gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek
tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari
ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila
disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok,
yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi
dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
Pertama,
konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang
`’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the
governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan
dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan
lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran
dan Sunnah. Tidak ada otoritas, kecuali rakyat, yang memiliki hak untuk
membuang atau mengubah konstitusi. Dengan demikian, pemerintahan Islam tidak
dapat berbentuk pemerintahan otokratik, monarki atau militer. Sistem
pemerintahan semacam itu adalah pada dasarnya egalitarian, dan egalitarianisme
merupakan salah satu ciri tipikal Islam. Secara luas diakui bahwa awal
pemerintahan Islam di Madinah adalah berdasarkan kerangka fondasi
konstitusional dan pluralistik yang juga melibatkan non-muslim.
Kedua,
partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan
struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini
bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan
dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan
populer. Umat Islam dapat memanfaatkan kreativitas mereka dengan berdasarkan
petunjuk Islam dan preseden sebelumnya untuk melembagakan dan memperbaiki
proses-proses itu. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam.
Ketiga,
akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem
konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung
jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa
semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.
Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh
karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi
sebagai Khalifah al-Rasul (representatif rasul) dan Khalifah al-Muslimin
(representatif umat Islam) sekaligus.
Poin ini
memerlukan kajian lebih lanjut karena adanya mispersepsi tentang kedaulatan
(sovereignty): bahwa kedaulatan Islam adalah milik Tuhan (teokrasi) sedangkan
kedaulatan dalam demokrasi adalah milik rakyat. Anggapan atau interpretasi ini
jelas naif dan salah. Memang, Tuhan merupakan kedaulatan tertinggi atas kebenaran,
tetapi Dia telah memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada umat manusia di
dunia.
Tuhan
memutuskan untuk tidak berfungsi sebagai Yang Berdaulat di dunia. Dia telah
menganugerahi manusia dengan wahyu dan petunjuk esensial. Umat Islam diharapkan
untuk membentuk diri dan berperilaku, secara individual dan kolektif, menurut
petunjuk itu. Sekalipun esensinya petunjuk ini berdasarkan pada wahyu, tetapi
interpretasi dan implementasinya adalah profan.
Apakah akan
memilih jalan ke surga atau neraka adalah murni keputusan manusia. Apakah akan
memilih Islam atau keyakinan lain juga keputusan manusiawi. Apakah akan memilih
untuk mengorganisir kehidupan kita berdasarkan pada Islam atau tidak juga
terserah kita. Begitu juga, apakah umat Islam hendak memilih bentuk
pemerintahan Islam atau sekuler. Tidak ada paksaan dalam agama.
Apabila
terjadi konflik antara masyarakat dan pemimpin, seperti mayoritas masyarakat
tidak menginginkan sistem Islam, maka kalangan pimpinan tidak dapat memaksakan
sesuatu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Tidak ada paksaan atau tekanan
dalam Islam. Karena tekanan dan paksaan tidak akan menghasilkan hasil yang
diinginkan dan fondasi Islam tidak dapat didasarkan pada paksaan atau tekanan.
Pada karakter
fundamental yang didasarkan pada poin-poin di atas, tidak ada konflik antara
demokrasi dan sistem politik Islam, kecuali bahwa dalam sistem politik Islam
orang tidak dapat mengklaim dirinya Islami apabila tindak tanduknya
bertentangan dengan Islam. Itulah mengapa umat Islam hendaknya tidak menganggap
demokrasi dalam artian umum bertentangan dengan Islam; sebaliknya, umat harus
menyambut sistem demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Dr Fathi Osman, salah
satu intelektual muslim kontemporer terkemuka, `’demokrasi merupakan aplikasi
terbaik dari Syura”.
2.3
Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Islam
Prinsip
Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip
yang menjadi standar baku. Di antaranya, Kebebasan berbicara setiap warga
negara, pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak
didukung kembali atau harus diganti, kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas
tanpa mengabaikan kontrol minoritas, peranan partai politik yang sangat penting
sebagai wadah aspirasi politik rakyat, pemisahan kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif, supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum),
semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.Pandangan Ulama
tentang Demokrasi.
Dalam hal ini
al-Maududi secara tegas menolak demokrasi. Menurutnya, Islam tidak mengenal
paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan
segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan
Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi
menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik.
Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja
bukan seperti teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang
telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.
Kritikan
terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan
ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas
agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari
etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar
demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama
kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat
menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual.
Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang
dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan
demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal
menawarkan sebuah model demokrasi sebagai tauhid dengan landasan asasi;
kepatuhan pada hukum; toleransi sesama warga; tidak dibatasi wilayah, ras, dan
warna kulit; serta dilandasi penafsiran hukum Allah melalui ijtihad.
Menurut
Muhammad Imarah Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak
menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan
menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam
sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah
pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan
merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad
untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah
berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai
faqîh (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat
berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut
Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat
Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam
pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman,
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah,
Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54).
Inilah batas
yang membedakan antara sistem Syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya
seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta
orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam.
Menurut Yusuf
al-Qardhawi, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari
beberapa hal. Misalnya, pertama, dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan
banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan
mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu
yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang
menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
Kedua, usaha
setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam.
Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin
adalah bagian dari ajaran Islam. Ketiga pemilihan umum termasuk jenis pemberian
saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga
kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh
kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
Ketiga
penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka
ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di
antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara,
lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga
lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka.
Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama
dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah
selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
Keempat juga
kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan
merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.
Menurut Salim
Ali al-Bahnasawi, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan
dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik
demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan
Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas
yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang
haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut
pertama, menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Kedua,
wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
Ketiga mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan
dalam Alquran dan Sunnah. Keempat komitmen terhadap islam terkait dengan
persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
Prinsip-prinsip
demokrasi dalam Islam meliputi, pertama, Syura merupakan suatu prinsip tentang
cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura:38 dan Ali Imran:159. Dalam praktik
kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura
adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih
menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau khalifah
Jelas bahwa
musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab
bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan begitu, maka
setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab
bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan
terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi
pertimbangan bersama.
Kedua,
al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen
dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana.
Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90; QS. as-Syura: 15; al-Maidah: 8; An-Nisa’: 58, dan
seterusnya. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan,
sehingga ada ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan
lestari kendati ia negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski
ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”.
Ketiga,
al-Musawah adalah kesejajaran, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi
dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa
memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni
penguasa atas rakyat.
Dalam
perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi wewenang
dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian
juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan
perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami
al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah.
Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat
al-Hujurat:13, sementara dalil sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup
dalam khutbah wada’ dan sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim.
Keempat,
al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada
orang lain. Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan
baik. Dalam konteks kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan
kepercayaan oleh rakyat harus mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan
penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil
seperti ditegaskan Allah SWT dalam Surat an-Nisa’:58.
Karena jabatan
pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan orang
yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas
jabatan tersebut. Inilah etika Islam.
Kelima,
al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui bahwa, kekuasaan
dan jabatan itu adalah amanah yangh harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus
disyukuri, maka rasa tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus
dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini mememiliki dua pengertian, yaitu
amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang
harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan.
Seperti yang
dikatakan oleh Ibn Taimiyyah, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan
masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat
luas. Dengan demikian, pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai
sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan
umat). Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan
dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat
atau umat ditinggalkan.
Keenam,
al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga
masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.
Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq
al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-‘munkar, maka
tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai
adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik
dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol
dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela.
2.4
Substansi Demokrasi dalam Islam
Tema tentang
Islam dan demokrasi jelas bukan hal baru. Bahkan, itu selalu dibicarakan, baik
pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Seperti pernyataan seorang
peserta Sidang Dewan Tafkir, pembicaraan tentang ini mengisyaratkan seolah-olah
tidak ada kesesuaian antara Islam dan demokrasi. Karena itu, terjadi
stigmatisasi di kalangan masyarakat internasional bahwa Islam tidak kompatibel
dengan demokrasi, khususnya menyangkut hal ‘kedaulatan rakyat’ dalam demokrasi
dengan apa yang sering disebut sebagai ‘kedaulatan Tuhan’ (hakimiyyah Allah).
Bahwa tidak
ada rumusan perinci tentang sistem politik yang dapat diterapkan umat Islam
dalam Alquran telah menjadi semacam kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama fikih
siyasah (politik). Sebaliknya, terdapat beberapa prinsip pokok dalam Alquran yang
dapat menjadi landasan bagi penerimaan demokrasi dalam Islam, misalnya syura
(musyawarah, baik melalui representasi pada lembaga legislatif maupun eksekutif
atau secara langsung); almusawa (kesetaraan); al-’adalah (keadilan);
akuntabilitas publik (ra’iyah); dan seterusnya.
Atas dasar
prinsip-prinsip ini, penerimaan demokrasi melalui kerangka fikih siyasah di
atas tidak dilihat mengurangi ‘kedaulatan Tuhan’.
Kedaulatan
Allah terhadap makhluknya merupakan sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan lagi.
Allah tetap Mahakuasa vis-à-vis makhluknya meski ada ‘kedaulatan rakyat’ yang
diwujudkan melalui sistem politik demokrasi. Karena itu, kedua bentuk
kedaulatan–yang sebenarnya tidak sebanding–tak perlu dipertentangkan.
Atas dasar
kerangka itulah, para pemimpin umat Muslim umumnya dapat menerima demokrasi,
khususnya di Indonesia, sejak negara ini memaklumkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945. Memang, dalam perjalanannya, terdapat pemikiran dan
gerakan–termasuk bersenjata–yang ingin mengganti demokrasi dan bahkan Pancasila
dengan teokrasi Islam, tetapi mengalami kegagalan.
Dalam
perjalanannya pula, demokrasi di Indonesia sejak dulu sampai sekarang ini pada
praktiknya tidak selalu dapat menjadi sistem politik yang efektif. Karena itu,
seperti dikemukakan seorang peserta perempuan dalam Sidang Dewan Tafkir Persis,
demokrasi kita belum bisa mengharapkan hasil konkret demokrasi, misalnya untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, sering terlihat demokrasi berubah
menjadi democrazy.
Kita
bersyukur, gejala democrazy itu tidak terjadi dalam skala yang mencemaskan pada
masa prapileg dan pascapileg yang lalu meski banyak komplain, laporan, dan
gugatan melalui Mahkamah Konstitusi karena DPT yang kacau, politik uang,
penghilangan dan pengelembungan suara, dan seterusnya. Pilpres mendatang
menjadi ujian, apakah pemilu dapat berjalan lebih baik sehingga bangsa dan
negara ini terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Dalam konteks
itu, ormas-ormas–khususnya yang berbasiskan keagamaan–dapat memainkan peran
penting dalam mengawal penerapan demokrasi lebih baik. Salah satunya adalah
memberikan sosialisasi kepada para anggotanya tentang perlu kepatuhan pada
hukum dan keadaban publik dalam demokrasi.
Demokrasi
tidak bisa berjalan baik tanpa penghormatan dan kepatuhan kepada tatanan
hukum–hal itu tentu saja juga sangat diajarkan Islam. Demokrasi juga dapat
menjadi kacau balau tanpa keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan
perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan
demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Dan,
ormas-ormas Islam dengan pengaruh dan daya tekannya yang kuat dapat kian
memperkuat perannya dalam bidang-bidang ini.
2.5 Ta’aruf
atau Saling Mengenal
Kalimat
ta’aruf itu asal katanya dari bahasa arab ta’arofu (artinya : saling mengenal).
Dalam Qur’an juga ada disinggung dalam salah satu suroh tentang pengertian
ta’aruf ini. Suroh ini menjelasakan kepada seluruh manusia, bahwa Allah SWT
menciptakan manusia itu berbeda-beda, bersuku dan berkelamin beda, tujuannya
adlah untuk saling mengelal atau Lita’arofuuJadi pengertiran ta’aruf itu adalah
saling mengenal. Kalau ada istilah saling mengenal, maka tentu bermagna lebih
dari satu orang atau sekelompok orang.Ta’aruf itu (tidak sama) dengan khitbah.
Ta’aruf itu adalah sebuah proses ‘saling mengenal’ – baik suatu orang satu
dengan satunya atau antara laki dan perempuan yang akan dikenalkan.
Demokrasi
membangun ukhuwah, persaudaraan, perdamaian dan persatuan. Allah berfirman :
Artinya : “Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat : 13).
2.6
Musyawarah ( Asy Syura) dan Demokrasi
Dalam Islam
ada yang dikenal dengan istilah Syura atau musyawarah. Yang merupakan derivasi
(kata turunan) dari kata kerja ‘syawara’. Dan kata ‘syawara’ mempunyai beberapa
makna, antara lain memeras madu dari sarang lebah; memelihara tubuh binatang
ternak saat membelinya; menampilkan diri dalam perang. Dan makna yang dominan
adalah meminta pendapat dan mencari kebenaran.
Dan secara
terminologis, syura bermakna “memunculkan pendapat-pendapat dari orang-orang
yang berkompeten untuk sampai pada kesimpulan yang paling tepat.”
Meminta
pendapat dan mencari kebenaran adalah salah satu prinsip dalam demokrasi yang
dianut sebagian besar bangsa di dunia. Didalam Islam bermusyawarah untuk
mencapai mufakat adalah hal yang disyariatkan.
Artinya :
“sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-syura:
36)
Dengan ayat
itu, kita memahami bahwa Islam telah memposisikan musyawarah pada tempat yang
agung. Syari’at Islam yang lapang ini telah memberinya tempat yang besar dalam
dasar-dasar tasyri’ (yurisprudensi). Ayat itu memandang sikap komitmen kepada
hukum-hukum syura dan menghiasi diri dengan adab syura sebagai salah satu
faktor pembentuk kepribadian Islam, dan termasuk sifat-sifat mukmin sejati. Dan
lebih menegaskan urgensi syura, ayat di atas menyebutkannya secara berdampingan
dengan satu ibadah fardhu ‘ain yang tidaklah Islam sempurna dan tidak pula iman
lengkap kecuali dengan ibadah itu, yakni shalat, infak, dan menjauhi perbuatan
keji.
Hal tersebut
menunjukan bahwa, Islam secara langsung menerapkan prinsip pengambilan
keputusan;musyawarah yang menjadi sendi utama dalam demokrasi modern (dari,
oleh dan untuk kepentingan rakyat).
Yang menjadi
poin penting dalam demokrasi bukan sistem trias politiknya, yang membagi
pemerintahan kedalam tiga lembaga (eksekutif, yudikatif dan legislatif),
melainkan sisitem checks and balances yang berlangsung dalam pemerintahan itu.
Tentunya agar bisa berjalan maka, harus ada keterbukaan dari masing-masing
elemen dalam pemerintahan itu. Dan keterbukaan itu dapat diwujudkan dalam
sebuah bentuk musyawarah yang efisien, efektif dan egaliter. Tentu saja tujuan
adalah kesejahteraan rakyat.
2.7
Mashlahah atau menguntungkan masyarakat
Mashlahah sama
akarnya dengan kata shalih yang berarti baik untuk agama. Dalam al-qura’n
banyak dijumpai kata shalih dan kata jadiannya. Shalih atau saleh dapat berarti
kebaikan pada umumnya menguntunmgkan. Di sinilah orang sering berbicara agama
sebagai moral force dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orang biasanya
akan berbicara tentang amar ma’ruf nahi munkar (menyuruk kebaikan, mencegah
kejahatan) bila menyinggung peranan agama. Agama dapat berperan sebagai moral
force supaya orang berbuat baik. Peran agama tidak langsung, tetapi melalui
individu atau kebudayaan. Tulisan ini justru dibuat untuk menyatakan bahwa
agama dapat berperan langsung, tapi melalui peran objektifitas. Agama-agama
dapat berperan dalam struktur dan proses kehidupan berbangsa dan bernegara.
Termasuk dalam demokratisasi.
Kesalahan
orang yang beragama ialah memandang masalah politik itu masalah sederhana, asal
semua orang berbuat baik, selesailah urusan. Tetapi perbuatan shaleh dari
majikan berbeda dengan perbuatan shaleh dari karyawan. Penguasa berbeda dengan
rakyat, elite berbeda dengan massa. Polisi berbeda dengan pedagang K-5. saleh
menurut siapa? Dalam demokrasi mayoritas mesti diprioritaskan juga dalam
kriteria kesalehan. Untuk masalah kriteria, rumusan “the greatest happiness for
the greatest number” adalah rumusan demokrasi yang lazim.
Mashlahah
sering tertumbuk pada faktor sosial budaya. Kita sudah menggantikan konsep
kekuasaan berdasar Asthabrata, yaitu seluruh kebaikan dipegang pihak berkuasa
dengan konsep kekuasaan ala semar, yakni penguasa hanya tut wuri handayani.
Namun, kita masih menemukan penguasa yang otoriter di satu pihak. Dan
masyarakat yang submissive di pihak lain. Juga ada anggota masyarakat yang
dengan kekayaannya dapat membeli demokrasi. Dan masyarakat yang bersedia
menjual suaranya. Mereka yang menjual suara tidak menyadari bahwa sekaligus
juga terjual kemungkinan untuk mendwapat mashlahah. Akibatnya, mashlahah hanya
milik elite penguasa atau mereka yang kaya.
2.8 Taghyir
atau Perubahan
Manusia adalah
subjek sejarah .Bukan alam,hukum-hukum,bahkan bukan pula Tuhan.sebuah ayat yang
sering di kutip oleh Tjokroaminoto kemudian juga oleh sukarno menjelaskan
pentingnya dalam sejarah .dalam surah Ar-Ra’d (13):11 disebutkan:
Artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Itu berarti
peranan manusia yang berkesadaran sangat menentukan dalam perubahan.kiranya
jelas untuk indonesia,tujuan sejarahnya ialah terbentuknya masyarakat
pancasila.Dari mana kemana ?Tidak salah kalau kita menyebut perubahan itu ialah
dari demokrasi kapitalisme ke demokrasi pancasila .
Sejarah sudah
mengajarkan bahwa perubahan tidak bisa terjadi satu malam.Perubahan yang
drastis biaya sosialnya tinggi , dan kebanyakan korban justru wong cilik yang
semestinya diuntungkan oleh perubahan itu.
Al-Quran
menerangkan bahwa prubahan harus setahap demi setahap.Dalam surah
Al-insyiqaq(84):19 di sebutkan :
Artinya :
“Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan)”
Manusia
dijadikan secara bertahap.maka demoratisasi harus juga terencana melalui
tahapan.setiap orang yang masih punya hati nurani mesti menginginkan perubahan
yaitu change now perubahan sebagai proses bertahap sistematis,dan perubahan
sebagai proses perlahan-lahan. Yang pertama ,menunjukan menunjukan ketergesaan.
Biaya sosialnya tinggi . dan mungkin saja masyarakat tidak siap dengan perubahan
mendadak sehingga counter productive.yang kedua, perubahan yang di kehendaki
mungkin tidak pernah terjadi sebab kekuatan anti perubahan akan lebih suka
statusnya.pilihan satu-satunya ialah cara kedua namun,kita wajib menghormati
mereka yang menginginkan change now,sebab mereka telah menyediakan diri menjadi
tumbal sejarah.mereka juga mengimplikasikan bahwa bangsa indonesia sudah
kebelet dengan perubahan, dan mungkin membuat kekuatan anti perubahan
pikir-pikir
2.9 Ta’awun
atau kerja sama
Dalam surat al-maidah
(5) : 2 disebutkan :
Artinya : “dan
tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa ,dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”
Ada dua
kepentingan yang diharuskan untuk bekerja sama, yaitu kepentingan manusia dan kepentingan
tuhan.
Biasanya orang
berbicara tentang demokrasi dalam pengertian demokrasi politik yaitu tidak
adanya hambatan dari kekuasaan. Demokrasi yang dimengerti secara negative,
berarti “merdeka dari” .islam mengiginkan pengertian yang lebih dari itu.demokrasi
perlu diperluas manjadi kerja sama antar warga. “merdeka untuk “ yaitu
demokrasi social dan demokrasi ekonomi.
Bahwa bangsa
Indonesia adalah satuan yang secara objektif ada ,merupakan self evident truth
yang tak terbantah.tetapi itu tidak berarti bahwa satuan yang besar
(masyarakat) lebih penting dari satuan yang kecil (individu) karena keduanya
adalah satuan-satuan yang objektif.yang mementingkan masyarakat adalah
sosialisme (ekonomi terpusat,perencanaan searah dan intervensi
Negara).sedangkan yang mementingkan individu adalah kapitalisme (ekonomi pasar
bebas).
Kita berhak
khawatir dengan perkembangan mutakhir.sementara konsep ta’awun secara nasional
belum selesai.kita akan menghadapi tatanan baru yang bersifat
internasioanal.persoalan yang kita hadapi bersama ialah berlomba dengan
waktu.sebelum ta’awun internasional itu berlaku pada tahun 2002, ta’awun
nasional harus sudah selesai.runtuhnya komunisme di eropa timur yang tidak
berarti bahwa cita-cita sosialisme sudah runtuh.seolah-olah memberi kesempatan
bagi system kapitalisme untuk berkembang, hal itu juga memberi kesempatan dan
tantangan baru bagi system social yang berjalan sesuai dengan jalan demokrasi.
Pancasila
mempunyai potensi sebagai system alternative .ta’awun nasional hanya dapat
berjalan jika kita dapat menghilangkan dualisme ekonomi, monopoli,oligopoly,
nepotisme dan ersatz capitalism serta mempunyai pemerintahan yang bersih.syarat
pertama kearah itu ialah adanya syura yang aktif melakukan control terhadap
kekuasaan.
Ta’awun itu
dapat pula menjadi kaidah bagi persekutuan yang bersifat mikro,misalnya dalam
satu pabrik atau perusahaan.self management pekerja dan pemilikan aset-aset
perusahaan oleh karyawan ,akan meningkatkan tanggung jawab karyawan pada
perusahaan .suatu hal yang sangat baik dalam era yang penuh kompetisi jadi ada
ta’awun antara pemilik modal dan pemrakarsa dengan karyawan. Meskipun hal itu
sukar dilaksanakan ,kiranya merupakan eksperimen social ekonomi yang perlu
dicoba perhitungkan.ta’awun yang bermula dari kaidah normative perlu dasar
legal-nasional melalui proses demokratis.sebagian prinsip ta’awun sudah
terlaksana,ada yang lama dan ada yang baru.gerakan koperasi sudah kita kenal
sejak zaman colonial. SI (syarikat islam) sudah menjalankannya.konsep
perusahaan hulu-hilir, anak asuh perusahaan ,santunan lansia,gerakan orang tua
asuh,beasiswa.merupakan bentuk-bentuk baru kerja sama.
2.10 Adl
atau Adil
Islam
mengharuskan keadilan secara mutlak dalam surat An-Nisa (4). 58 tentang
keadilan tuhan menyatakan :
Artinya :
“apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil.”
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan
tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang
sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat,
dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat
wakilnya.
Adapun yang
tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak
sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari
rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi
yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu pertama, demokrasi tersebut harus berada
di bawah payung agama. Kedua, rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan
aspirasinya. Ketiga pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan
musyawarah. Keempat, suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap
menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika
mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau
membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan
perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya
dengan cukup mengambil pajaknya.
Kelima,
musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada
persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. Keenam
produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai
agama. Ketujuh hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar
sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus
dilakukan pertama, seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman
yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar
dari ajarannya. Kedua, parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan
didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara
baik.
0 comments :
Post a Comment